Pangeranan - Pesarean Adipati Blitar Tempat Pengungsian Gunung Kelud

Setiap Gunung Kelud meletus, sebagian masyarakat Blitar mengungsi di ‘Pangeranan’ dan mereka percaya akan aman dari terjangan lahar Gunung Kelud. Pangeranan adalah sebuah komplek pesarean (pemakaman) Adipati Blitar (semasa hidupnya adalah penguasa wilayah Blitar). Tempat tersebut terletak di Jalan Sultan Agung, dukuh Gebang Kelurahan Sananwetan Kota Blitar atau dari rumah Bung Karno, Gebang Blitar, anda cukup berjalan kaki sejauh 60 (enam puluh) meter ke sebelah timur. Masyarakat Blitar menyebut seorang adipati adalah Pangeran (keturunan seorang raja) maka komplek pemakamannya pun disebut “Pangeranan”.

Mengapa aman mengungsi ditempat itu ?  karena sebagian masyarakat Blitar masih percaya akan kesaktian dan kharomah Adipati Blitar dalam menangkal lahar Gunung Kelud, sesuai legenda atau mitologi yang diyakini mereka. Salah satu mitologinya adalah sebagai berikut :

Gambar : Pangeranan gebang

Syahdan ketika Gunung Kelud meletus mengeluarkan lahar begitu besar dan dahsyatnya, yang mampu memporakporandakan Blitar dan menimbulkan begitu banyak korban rakyat Blitar, Adipati Blitar merasa sedih karena tidak mampu melindungi dan mengayomi seluruh kawulonya (rakyat Blitar). Lahar Gunung Kelud tersebut, sebenarnya dikomandani makhluk gaib yang merupakan pasukannya Lembu Suro.

Meski sebenarnya dia cukup sakti mampu menghalau jalannya lahar dari pasukannya penguasa Gunung Kelud (Lembu Suro), dengan pusakanya yaitu sebuah cambuk atau ‘cemeti’  bernama 'Pecut Samandiman' agar lahar tidak meluber kemana-mana. Namun apa daya Adipati Blitar seorang diri, sehingga tidak mungkin menghadapi lahar Gunung Kelud yang begitu dahsyat, ibarat sebuah pasukan yang menyerbu dari beberapa penjuru, sesuai dendam yang dilontarkan Lembu Suro kepada Dewi Kilisuci bahwa 'Blitar akan dijadikan latar'.

Karena cintanya kepada kawulonya (rakyat Blitar) agar lahar Gunung Kelud tidak mengalir (menyerang) Blitar, Adipati Blitar pun mencoba berkomunikasi dengan Lembu Suro selaku penguasa ‘gaib’ Kraton Kelud, dengan melalui “laku” atau ritual seorang diri.

Melalui “laku” tersebut akhirnya Adipati Blitar mampu bertemu Lembu Suro dan meminta agar ‘Blitar tidak dijadikan latar’ atau dialiri lahar dari Gunung Kelud. Mendengar permintaan tersebut Lembu Suro pun menyanggupi dan mengajukan persyaratan agar kawulo Adipati Blitar (rakyat Blitar) tiap tahun mengadakan "larung"an di kratonnya (puncak Gunung Kelud).


Persyaratan yang cukup berat menurut Adipati Blitar, mengapa ? mengingat lokasi kraton penguasa Kelud (puncak gunung Kelud), kalau dilewati melalui wilayah Blitar secara geografis jalannya begitu terjal dan jalannya menanjak, bahkan bisa dikatakan hampir tegak lurus, pasti akan sangat berat apabila dilakukan kegiatan 'larung'an  oleh kawulonya.

Dia pun mengajukan penawaran kepada penguasa Gunung Kelud, akhirnya melalui perundingan yang lama dan ‘alot’ dihasilkanlah suatu kesepakatan (istilah sekarang Memorandum Of Understanding) bahwa :
  • Apabila Kraton (Gunung) Kelud akan punya ‘hajatan’ (meletus), sebelum meletus, Adipati Blitar akan diundang atau diberitahu  melalui utusan  Kraton (melalui mimpi atau makhluk gaib); dan
  • Adipati Blitar dan keturunannya (penguasa wilayah Blitar) akan ‘mbecek’ (istilah dalam adat jawa, apabila diundang hajatan oleh seseorang, yang diundang akan datang dan biasanya memberikan sesuatu barang/uang )  berupa  ‘intan’ ke Kraton (puncak) Gunung Kelud.
Dengan adanya perjanjian ini maka masyarakat Blitar (sampai sekarang) tidak pernah mengadakan upacara 'larung'an  ke Gunung Kelud, karena beranggapan telah diwakili oleh Adipati (penguasa wilayah) Blitar.

Dengan mengetahui mitologi – mitologi yang berkembang di masing masing daerah diharapkan bisa membantu dalam menentukan arah kebijakan dalam rangka penanggulangan bencana alam dan mengurangi dampak dampak yang tidak kita inginkan. Mengapa ?

  • Karena dengan mitos mitos yang akhirnya menumbuhkan keyakinan pada masyarakat, apabila titik lokasi yang dianggap oleh masyarakat sesuai keyakinannya aman sebagai tempat pengungsian dan secara mitigasi bencana juga termasuk lokasi aman, sudah sepatutnya kita menyiapkan kebutuhan pengungsi dari evakuasi sampai kebutuhan dasar pengungsi, meski mungkin titik lokasi itu tidak termasuk dalam titik lokasi pengungsian yang ditetapkan pemerintah daerah.
  • Apabila ada keyakinan dari masyarakat bahwa akan aman di satu titik lokasi, namun menurut mitigasi bencana adalah termasuk daerah berbahaya, maka sudah kewajiban kita jauh jauh hari sebelumnya mampu memberikan pengertian untuk merubah keyakinan masyarakat (meski mungkin agak susah untuk merubah suatu keyakinan).

Matur ‘Thank You”
var popunder = true;