Legenda Gunung Kelud

Mitologi terkait dekat dengan legenda maupun cerita rakyat. Mitologi dapat mencakup kisah penciptaan dunia sampai asal mula suatu bangsa. Pada cerita rakyat, waktu dan tempat tidak spesifik dan ceritanya tidak dianggap sebagai kisah suci yang dipercaya kebenarannya. Sedangkan pada legenda, pelaku-pelakunya adalah manusia dan meskipun kejadiannya dianggap benar-benar terjadi, dapat mengandung kisah makhluk supranatural (dewa, dsb.) dan kejadian luar biasa (kutukan, keajaiban, dsb.) seperti pada mitologi. Biasanya latar pada legenda adalah masa-masa pada saat manusia sudah ada dan dikaitkan dengan sejarah dan asal mula suatu tempat.
Beberapa suku di Indonesia memiliki kisah tentang tokoh mitologis dengan nama yang sama, namun dengan versi yang berbeda. 
Mitos yang berasal dari luar negeri pada umumnya telah mengalami perubahan dan pengolahan lebih lanjut, sehingga tidak terasa asing lagi yang disebabkan oleh proses adaptasi karena perubahan zaman.
Gambar : Gunung Kelud (sebelum letusan tahun 2007)

Gunung kelud pun tidak lepas dari mitos atau legenda rakyat, Sebuah cerita rakyat mengenai terjadinya Gunung Kelud dengan penguasanya Lembu Suro, salah satunya adalah sebagai berikut :
Alkisah setelah disabda atau dikutuk oleh ayahnya menjadi manusia berkepala sapi (lembu) dan tidak diperbolehkan tinggal di Kahuripan. Akhirnya si bocah Maheso Suro pergi ke barat sambil ‘ngangsu kaweruh’, seiring waktu Maheso Suro tumbuh menjadi dewasa akhirnya sampai di daerah lereng tenggara sebuah bukit yang masih berupa hutan belantara tak bertuan yang dikuasai Jin dengan bala tentara makhluk halus lainnya. Dan di tempat inilah Maheso Suro yang telah tumbuh dewasa ‘mbabat alas’ (membuka lahan atau hutan)  untuk dijadikan tempat tinggal,  melalui pertarungan dengan berbekal ilmu handoko kurdo dan ilmu banteng amuk, Jin penguasa hutan beserta bala tentaranya akhirnya ditaklukkan dan menjadi pengikutnya. Karena kesuburan tanahnya, lambat laun banyak pendatang yang akhirnya ikut bertempat tinggal di daerah tersebut, hingga meluas dari selatan sampai utara lereng bukit. Sejalannya dengan waktu daerah tersebut bernama Bandarangin. Mayoritas pendatang ketika melihat sosok fisik Maheso Suro (sebagai penguasa wilayah tersebut) menyebutnya dengan nama Lembu Suro.
Suatu hari  Lembu Suro mendengar kabar bahwa di Kediri ada seorang putri yang cantik jelita bernama Dewi Kilisuci, kemudian dia datang ke Kediri dengan maksud melamar sang putri. Begitu mendengar maksud kedatangan Lembu Suro tersebut, sang Dewi Kilisuci menolak, karena sang Dewi ngeri melihat fisik dan sosok Lembu Suro (dalam adat jawa apabila seorang pelamar atau yang dinikahkan harus diketahui "bibit, bebet dan bobot"nya), menolak secara halus permintaan itu. Agar tidak menimbulkan kemarahan Lembu Suro (mengingat kesaktian Lembu Suro) dan juga menghindari peperangan antara Kediri dan Bandarangin yang ujung ujungnya dapat menyengsarakan rakyat jelata, akhirnya Dewi Kilisuci membuat syarat kepada Lembu Suro dengan mengatakan “Ingsun gelem siro boyong,  anggere siro  iso anggawe sumur ing wates Kediri lan Bandarangin, kang tinembus segoro kidul  (Saya bersedia disunting, asalkan kamu mampu membuatkan sumur di tapal batas Kediri dan Bandarangin, yang berhubungan (tembus) dengan Laut Selatan). Mendengar persyaratan tersebut, Lembu Suro pun menyanggupi. 


Begitu mendengar sumur yang dikerjakan Lembu Suro sudah hampir tembus ke Laut Selatan. Dewi Kilisuci pun panik, kemudian memanggil Patih Pujanggeleng untuk menghentikan pembuatan sumur tersebut. Patih Pujanggeleng segera membawa prajurit dengan membawa daun-daun kelor (daun yang menurut adat jawa mampu untuk menetralisir kekuatan atau kesaktian) dan tombak-tombak menuju sumur yang dikerjakan Lembu Suro. Begitu sampai di sumur dan melihat didalamnya masih ada Lembu Suro, Sang Patih Pujanggeleng tanpa pikir panjang memerintahkan prajurit Kediri menimbun dan memasukan daun kelor dan tombak-tombak beserta batu-batuan sekitar lokasi ke dalam sumur tersebut sampai penuh (air yang di bawah sumur naik ke atas dan terlihat seperti sebuah danau). 
Begitu mengetahui bahwa dirinya dihianati, dari dalam sumur Lembu Suro pun dengan penuh dendam bersumpah  : “mBesuk bakal pethuk piwales ingsun sing makaping-kaping, parumpamane kelut-kelut, Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi kedung” (Besok akan saya balas tindakanmu ini, ibaratnya bersih-bersih, Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan menjadi lapangan, Tulungagung akan menjadi danau, yang diartikan secara keseluruhan 'akan disapu bersih').
Setelah selesai mengerjakan tugasnya dan melihat Lembu Suro telah tertimbun dan meninggal di dalam sumur, Patih Pujanggeleng kembali ke Kediri dan melaporkan kepada Dewi Kilisuci termasuk pesan terakhir (dendam) dari Lembu Suro. Begitu mendengar hal tersebut Dewi Kilisuci merasa  bersalah. Mengapa hanya karena perbuatannya,  rakyatnya  juga harus menanggung akibatnya ? ( Dewi Kilisuci adalah seorang putri yang sangat mencintai rakyatnya dan begitu juga sebaliknya ). 

Untuk mengurangi rasa bersalahnya, akhirnya Dewi Kilisuci mengasingkan diri  untuk memohon ampun dan meminta pertolongan kepada yang Maha Kuasa. Selain itu juga untuk memohon keselamatan rakyatnya dan menangkal dendam Lembu Suro dengan bertapa di pertapan Gunung Pegat, Srengat, Blitar.


Gambar : Pertapan di Gunung Pegat Srengat
Sedangkan Lembu Suro menurut kepercayaan sebagian masyarakat Blitar dan sekitarnya sampai sekarang masih menjadi Penguasa ("Gaib") Gunung Kelud.

Catatan :
  • Tulisan ini telah disunting dan ditulis dari berbagai sumber termasuk cerita masyarakat Blitar dan sekitarnya dan cerita dari almarhum orang tua mBah.
  • Mbah menulis ini untuk mengenalkan atas mitos atau legenda yang selama ini ada di masyarakat, agar nantinya anak cucu kita tidak hanya kenal mitos mitos luar negeri (misal Yunani seperti dewa Zeus, Kuda Troya dsb), tapi juga mengenal mitos atau legenda yang ada di daerah kita.
Matur  "Thank You"
var popunder = true;